Apa sih yang paling cepet “melintas” ketika kita mendengar kata “Ibu Tiri”? Yang jelas bukan bajaj atau delman hehehe…. Waktu aku Tanya ini kepada anak-anak disekitar rumahku, rata-rata menjawab:
“Ibu tiri itu tukang nyiksa!”
“Jahat sama anak kecil!”
“Suka nendang, mukul n jambak rambut!”
“Yang jahat sama Candy?”
Kayaknya nggak ada yang jawab,”Ibu tiri adalah istrinya ayah tapi bukan ibu kandungku”, hehehe….. Image ibu tiri udah terlanjur segitu ancurnya gara-gara peran sinetron yang menggambarkan ibu tiri yang kejam, tamak dan suka menyiksa anak-anak. Jarang sekali kita temui konotasi yang positif bersanding dengan kata “Ibu tiri”. Tidak sedikit ibu kandung yang juga punya “jiwa” seperti ibu tiri. Banyak sekali anak-anak yang jadi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dengan pelaku ibu kandungnya sendiri, atau tidak terhitung lagi bayi yang dibuang sia-sia oleh ibu kandungnya sendiri. Padahal banyak sekali ibu-ibu yang sangat merindukan kehadiran seorang anak, kok tega-teganya sih? Kalau orang itu ada didepanku mungkin sudah aku maki-maki sampai bibir jontor… bibirku maksudnya yang jontor bukan bibir si ibu. Anti kekerasan fisik hehehe…
Kenapa dengan Ibu tiri? Nggak tau, terlintas saja dalam benakku ketika didaulat menulis. Image ibu tiri yang negative membuatku gemes. Banyak lho, ibu tiri berhati emas, yang sama penyayangnya terhadap semua anaknya, yang tiri atau yang kandung (maaf nulisnya blepotan hehehe…). Salah satunya adalah almarhum nenekku, yang biasa ku panggil dengan sebutan Oma. Ibuku selalu mengatakan kalau Oma adalah wanita berhati emas. Ketika ibuku berumur dua tahun, kakek meninggal dunia dan Oma menikah lagi dengan seorang duda beranak empat yang masih kecil-kecil. Karena cukup lama ditinggal mati oleh ibu kandung mereka, keempat anak itu tumbuh menjadi anak-anak terlantar. Udah jarang mandi, apalagi kenal soal tatakrama, boro-boro deh…. Tapi Oma dengan sabar mendidik mereka dengan tegas tapi penuh kasih sayang. Oma juga tidak pernah membedakan rasa sayangnya terhadap ibu maupun saudara-saudara tirinya. Hasilnya, sekarang mereka, om dan tante-tanteku sudah jadi orang yang sukses. Tapi rupanya ada anggota keluarga yang tidak suka dengan keharmonisan keluarga Oma, dan menyebarkan berita bahwa Oma bukan ibu kandung mereka. Hal ini terjadi ketika keempat saudara tiri ibu sudah beranjak dewasa. Saat itu ibu pun tidak tahu menahu perihal “status” keempat saudaranya. Mereka pun sempat bersitegang cukup lama, bahkan sampai mereka masing-masing telah menikah. Syukur Alhamdulillah masalah tersebut sudah teratasi. Itu pun berkat hati emas Oma yang sangat pemaaf. Beliau memaklumi kondisi hati anak-anaknya dan memaafkan mereka.
Masih ingat juga tentang betapa besarnya cinta seorang Letkol (CPM) MF Sugiyarti, terhadap anak tirinya, almarhum Partahi Mamora Halomuan Lumbantoruan dan betapa hancur hati sang ibu ketika mendengar anaknya yang tengah menempuh pendidikan S3 di Amerika itu meninggal dunia karena menjadi korban penembakan mahasiswa Korea yang stress. Aku sangat tersentuh mendengar pernyataan beliau didepan media televisi, ketika kabar kematian anaknya sampai ke telinganya. “Saya ikhlas anak saya dipanggil yang Maha Kuasa. Tapi sebagai manusia yang terdiri dari darah dan daging, saya tidak rela anak saya mati dengan cara seperti itu! Anak saya orang baik!”. Tanpa sadar aku jadi ikut menangis…
Figure ibu tiri lain yang membuatku kagum adalah tetanggaku sendiri. Tadinya aku agak ragu untuk menulis tentang dia walaupun identitasnya anonym, takutnya dia keberatan. Tapi karena selalu melihat kegiatannya bersama anak-anaknya aku jadi pengen banget nulis tentang ibu ini, sebut saja ibu P. Suaminya, sebut saja pak A adalah teman sekantor suamiku ketika masih bekerja di pabrik produsen barang elektronik. Beliau telah menikah dan mempunyai tiga orang anak. Tapi sang istri durjana (kesannya wayang neh! Hihihih…) malah kabur dengan mantan kekasihnya karena tidak tahan dengan kehidupan yang sederhana. Sang Istri menggugat cerai, pak A sempet bingung untuk mencari uang untuk biaya pengadilan, karena gajinya pas-pasan untuk biaya hidup anak-anaknya. Suamiku akhirnya memberikan pinjaman kepada pak A karena merasa iba dengan kesulitan yang sedang dihadapinya. Setahun lamanya pak A menduda, sementara anak-anaknya dititipkan ke neneknya yang tak lain adalah ibu dari si istri durjana tadi. Karena pak A adalah menantu yang disayang oleh mertua, sang mertua malah mencarikan seorang calon istri untuk mendampingi dan bersedia mengurus anak-anakya. Dan ketemulah sang calon istri ini, yaitu ibu P yang seorang janda beranak satu.
Sebenarnya yang dilakukan ibu P bersama keluarganya adalah hal yang sederhana, seperti yang selalu dilakukan ibu-ibu lain bersama keluarganya. Tapi cerita mengenai statusnya (yang kebetulan hanya orang-orang terdekat yang tahu) menjadikan kegiatan sehari-hari itu menjadi luarbiasa untukku. Ibu P masih muda (mungkin umurnya dibawaku) tapi sangat telaten mengurus tiga anak tirinya (dua laki-laki dan satu perempuan),
Sumber :
http://dyochan.multiply.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar